Warinussy Desak Presiden Tuntaskan Kasus Tragedi Biak Berdarah

MANOKWARI, JAGATPAPUA.com – Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy meminta perhatian Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo (Jokowi) untuk mengambil langkah cepat dan segera dalam menyelesaikan Kasus Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Biak Berdarah 6 Juli 1998.
Pasalnya jingga 6 Juli 2021, sudah 23 tahun kasus yang termasuk kategori berat sesuai amanat Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM tersebut belum pernah “disentuh” dari aras kebijakan negara semenjak Presiden Jokowi berkuasa.
Padahal menurutnya laporan dugaan peristiwa pelanggaran HAM Berat yang dikeluarkan oleh Lembaga Studi Advokasi HAM (ELS-HAM) Papua berjudul Pusara Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara tercatat 8 (delapan) warga sipil diduga mati, 3 (tiga) warga sipil diduga hilang.
Kemudian ada 4 (empat) warga sipil mengalami luka berat dan 33 lainnya menderita luka ringan. Juga 50 warga sipil diduga mengalami penahanan dan penyiksaan secara sewenang-wenang oleh aparat keamanan negara dan ditemukan sekitar 32 sosok mayat misterius tanpa identitas di sekitar perairan pulau Biak dan sekitarnya.
“Penemuan mayat tanpa identitas ini hanya kurun waktu beberapa hari pasca terjadinya penyerangan aparat keamanan (TNI/Polri) terhadap aksi unjuk rasa damai di bawah menara air (tower) di Kompleks Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Biak Kota, 6 Juli 1998,” ujarnya, melalui rilis.
Semenjak, kejadian itu lanjut Warinussy, Pemerintah Indonesia sama sekali tidak memberi perhatian serius dalam mendiskusikan cara-cara paling terhormat di dalam mendorong penyelesaian kasus Biak tersebut secara hukum maupun secara politik.
Padahal Indonesia sudah memiliki UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, yang lahir hanya setahun pasca peristiwa Biak Berdarah Juli 1998. Bahkan Indonesia juga sudah memiliki UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Selanjutnya Pemerintah RI melahirkan UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Yang di dalam pasal 45 dan pasal 46 nya mengatur mengenai bagaimana negara menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
“Menurut pandangan saya sebagai Advokat dan Pembela HAM, pasal 46 Dari UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sudah memberikan ruang bagi penyelesaian kasus seperti Biak Berdarah,” sebutnya.
“Dan sangat baik jika langkah ini dimulai dari Gubernur Propinsi Papua untuk mempersiapkan segera pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang salah satu tugasnya mendorong penyelesaian kasus dugaan Pelanggaran HAM Biak,” tukasnya.(jp/rls)