MANOKWARI, JAGATPAPUA.com – Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB), masih menyesalkan sikap sejumlah tokoh yang mengaku utusan masyarakat dan pemerintah Papua Barat, hadir dalam pertemuan bersama Presiden RI di Istana Negara Jakarta.
“Siapa yang memprakarsai mereka. Pada prinsipnya MRPB dan Gubernur percaya bahwa Presiden punya niat baik. Hanya niat baik itu dimanfaat untuk kepentingan perseorangan tanpa mengikuti mekanisme yang benar,” kata Wakil Ketua 1, Cryrilius Adopak, SE. MM, dalam jumpa pers, Jumat (13/9/2019).
Menurut dia, MRPB sebagai lembaga kultur dan perwakilan suara dari masyarakat adat, serta lembaga perwakilan pemerintah pusat di daerah, sehingga perlu mengambil sikap dalam rangka melindungi aspirasi masyarakat, agar dapat memberikan sumbangsih terbesar pemikiran positif kepada pemerintah pusat demi kemajuan NKRI.
“Dengan tegas kami menolak pertemuan yang berlangsung beberapa waktu lalu. Alasannya bahwa MRPB tidak mendapat rekomendasi atau rujukan 61 tokoh ini diwakilkan oleh siapa, bahkan gubernur Papua Barat juga tidak berikan rekomendasi,” sebutnya.
“Kondisi ini juga berakibat beragam tanggapan negatif muncul di media sosial, dan MRPB berusaha menciptakan situasi aman lalu dengan cara seperti ini, bisa saja dapat memperkeruh situasi,” tukasnya.
Sementara, Ketua MRPB Maxi Ahoren menegaskan pihaknya secara tegas menolak hasil pertemuan yang dilakukan bersama Presiden, karena itu pertemuan tidak resmi.
Ahoren menuturkan, peristiwa rasis yang berujung pada kericuhan di Papua dan Papua Barat sesungguhnya sudah menjadi perhatian pemerintah dan sedang diagendakan untuk bertemu dengan Presiden. Namun ditengah proses terdapat oknum yang memanfaatkan situasi secara diam-diam bertemu Presiden .
“Sebenarnya MRP, MRPB, Gubernur Papua dan Papua Barat, bersama Sekda sudah membahas dan setelah pertemuan terakhir, kami akan berangkat ke Jakarta bertemu Presiden, tetapi sebelum pertemuan terlaksana sudah ada pihak yang mendahului,” jelasnya.
Dia menuturkan dari tuntutan demo, dapat ditarik kesimpulan yang menjadi keinginan masyarakat adalah bagaimana meluruskan sejarah Pepera, pelanggaran HAM, dialog Papua-Jakarta.
“Kalau pemekaran itu bukan satu solusi, karena mereka demo tidak minta pemekaran. Mereka tidak minta bangun Istana, dan lowongan kerja. Yang kami sayangkan Negara berikan kami kewenangan tapi tidak diberikan kepercayaan,” tandasnya.(me)