MANOKWARI,JAGATPAPUA.com–Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma memberikan respons soal dugaan penipuan yang dilakukan oleh mantan Plt Kepala Dinas (Kadis) PUPR Papua Barat berinisial YM kepada JFT. Menurut keterangan JFT, YM meminjam uang miliknya sebesar Rp. 4,9 miliar dengan menjanjikan proyek senilai Rp 100 miliar.
Akan tetapi, hingga jabatan YM selesai, janji tersebut tak juga ditepati. Dr. Filep pun memberikan pandangan hukum terkait persoalan ini.
“Persoalan ini mengemuka ke ruang publik, jika perbuatan memberi janji terkait proyek yang disebutkan ini nyata terjadi, maka kasus YM dan JFT ini menjadi preseden buruk bagi masa depan pembangunan di Papua Barat. Dari perspektif hukum, tentu saja kita harus berhati-hati dalam menilai perbuatan hukum mana yang dilanggar,” ujar Filep kepada awak media, Senin (22/4/2204)
Anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat ini menilai, kasus tersebut bisa didekati dari beberapa konsep hukum. Ia lantas menjelaskan kemungkinan pelanggaran tindak pidana yang terjadi dalam persoalan tersebut.
“Pertama kita harus memeriksa apakah hal tersebut merupakan bentuk suap, gratifikasi, pemerasan, atau uang pelicin. Suap terjadi kalau penyuap secara aktif menawarkan imbalan kepada penerima suap agar urusannya lebih cepat atau mudah walaupun melanggar prosedur. Lalu, pemerasan terjadi kalau petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Kalau uang pelicin bisa menjadi gabungan dari suap dan pemerasan itu,” jelas Filep.
“Nah sekarang kita cek. Jika nyata terjadi, apakah YM yang minta uang pertama kali kepada JFT, ataukah JFT yang memberi uang pelicin. Prinsipnya, suap dan pemerasan akan terjadi jika terjadi transaksi atau deal antara kedua belah pihak. Singkatnya ada meeting of mind antara keduanya,” tambah Filep lagi.
Lebih lanjut, senator yang terpilih lagi sebagai anggota DPD RI periode 2024-2029 ini menambahkan bahwa sanksi pidana akan menanti bagi tindak pidana suap dan pemerasan sebagaimana ketentuan dalam UU yang berlaku.
“Karena ini terkait jabatan, maka UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan sanksi pidana untuk Suap, Uang Pelicin, dan Pemerasan terkait jabatan, yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dengan pidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal Rp250.000.000”, ujar Filep lagi.
“Satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa Pasal 12B UU 20/2001 juga menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi di sini harus jeli menilai apakah memang suap, pemerasan, atau gratifikasi. Gratifikasi memiliki hukuman lebih berat. Dalam Pasal 12, hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar,” jelas Filep.
Alumnus Doktor Hukum Universitas Hasanuddin ini lantas berharap agar peristiwa YM dan JFT ini dapat dibuka seterang-terangnya. Menurutnya, selain untuk penegakan hukum, hal ini juga dapat menjadi pembelajaran atau edukasi hukum bagi masyarakat luas termasuk para pejabat pemerintahan.
“Saya berharap agar kasus ini menjadi awal bagi dibukanya mata rantai peristiwa-peristiwa suap, uang pelicin, pemerasan, gratifikasi, dan korupsi pada umumnya di Papua Barat,” tegas Filep.(jp)