JAKARTA,JAGATPAPUA.com– Pada 5 Oktober 2023 lalu, rapat paripurna DPR Papua Barat telah menetapkan 3 nama untuk diusulkan sebagai calon Penjabat Gubernur Papua Barat menggantikan Paulus Waterpauw.
Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma turut memberikan kritiknya pada proses ini, Menurutnya, DPR PB harus terus mengawal pengusulan nama-nama calon penjabat gubernur tersebut.
“Kenapa saya minta ini dikawal, karena Pemerintah punya kartu truf untuk menegasikan usulan DPR PB. Coba kita periksa Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota, pada Pasal 4 Permendagri itu, ditegaskan bahwa Pengusulan Pj Gubernur dilakukan oleh menteri, DPRD melalui Ketua DPRD Provinsi. Disini DPRD mengusulkan 3 nama, dan Menteri juga mengusulkan 3 nama. Jadi ada 6 nama yang diusulkan,” kata Filep (31/10/2023).
Kemudian dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Menteri melakukan pembahasan terhadap 6 nama itu dengan melibatkan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian misalnya Mensesneg, Menpan RB, Sekretaris Kabinet, BKN, BIN.
Dari 6 nama itu dikerucutkan oleh Menteri menjadi 3 nama yang diberikan kepada Presiden. Selanjutnya Presiden menetapkan 1 nama. Proses seperti itu sama saja dengan menihilkan ruang usulan DPR PB.
Lebih lanjut, Pace Jas Merah lulusan Universitas Hasanuddin ini mengungkapkan bahwa kepentingan politik Pemerintah sangat terlihat dalam penentuan Pj Gubernur.
“Jadi kalau mau jujur, kita seharusnya bertanya, mengapa Permendagri memberi ruang bagi Pemerintah untuk ikut mengusulkan nama calon Pj Gubernur? Itu seolah memperlihatkan adanya kepentingan politik supaya Pj Gubernur harus sejalan dengan kata Pemerintah,” kata Filep lagi.
Padahal, lanjut Filep, Permendagri ini lahir karena Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022. Gugatan terhadap Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Nomor 10 Tahun 2016 itu menyebutkan, MK dalam pertimbangan hukumnya menegaskan bahwa pemerintah harus memetakan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah dan juga memperhatikan kepentingan daerah.
MK kemudian memerintahkan supaya dibuat peraturan teknis mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah sehingga lahirlah Permendagri Nomor 4 Tahun 2023.
“Perintah MK ini kan sebenarnya mau menegaskan bahwa DPR PB berikut usulannya merupakan representasi riil masyarakat Papua Barat. Nah kalau Pemerintah juga memberi usulan, lalu dimana ruang Otonomi Khusus itu?” tanya Filep.
“Pasal 4 dan 5 Permendagri itu sudah mengunci mati semuanya. Jadi dalam konteks Permendagri, tidak ada keharusan memakai usulan hasil rapat paripurna DPRD karena Menteri juga boleh mengusulkan 3 nama. Apabila hasilnya tidak sesuai dengan usulan DPRD, maka tidak ada konsekuensi hukum lain selain menerima. Di sinilah kita orang Papua hanya bisa menonton di tanah sendiri,” tegas Filep lagi.
Oleh sebab itu, Senator Filep meminta Kemendagri untuk mengingat bahwa secara politik rakyat di daerah lebih percaya kepada keputusan lembaga wakil rakyat dibandingkan dengan usulan pemerintah. Dari persoalan ini, dalam konteks Otonomi Khusus sudah terlihat bahwa secara perlahan pemerintah pusat terkesan mengebiri kewenangan dan aspirasi rakyat Papua.
“Jadi saya ingatkan, jangan mengebiri Otsus Papua, terlebih di saat rakyat sedang tidak percaya,” tegas Filep mengakhiri wawancara.(jp/rls)