Politik

Soal Perdebatan LAM di Sidang MK, Senator FW: Tak Hanya Soal Standar Mutu, Perhatikan Juga Kesiapan Perguruan Tinggi Daera

JAKARTA,JAGATPAPUA.com – Ketua Komite III DPD RI, Dr. Filep Wamafma mencermati perkembangan sidang pengujian UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan UU Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).

Filep menyoroti berkembangnya argumentasi soal peran Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia.

“Saya menyimak argumentasi yang bergulir pada sidang uji materi UU Sisdiknas dan UU Dikti, termasuk keterangan Mendiktisaintek yang menanggapi pendapat pemohon tentang LAM dalam hal penjaminan mutu pendidikan tinggi,”kata Filep Wamafma

“Pada prinsipnya, saya mendukung standarisasi mutu dari pemerintah, pun dengan melibatkan peran masyarakat atau pihak eksternal. Akan tetapi bagi saya, hal yang tidak kalah urgen adalah perhatian dan dukungan pemerintah juga swasta agar bagaimana perguruan tinggi kita di daerah-daerah ini juga siap dan mampu mencapai standar-standar tersebut,” sambungnya.

Ia menilai perdebatan tersebut hanya dihilir sementara berbagai persoalan pendidikan didaerah.

“Persoalannya ada di hulu. Bagi saya bicara soal standar mutu harus dibarengi juga dengan penguatan internal lembaga pendidikan seperti penyediaan atau peningkatan kapasitas dan kualitas SDM, dukungan tata kelola, kesiapan infrastruktur, akses sumber literasi dan teknologi, juga dukungan terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal agar catch up dengan standar nasional,” jelas doktor Alumnus Unhas Makassar itu.

Lebih lanjut, senator Papua Barat ini juga mengungkapkan masalah kesenjangan atau gap pendidikan yang terjadi antar daerah, terutama di wilayah Indonesia Timur. Dia mengatakan, perlu adanya kebijakan afirmasi yang implementatif dan tepat sasaran di wilayah ini untuk mencapai standar mutu nasional.

Filep menambahkan, apabila infrastruktur pendidikan di daerah banyak yang belum sesuai standar pendidikan modern, maka pembahasan standar mutu nasional terasa kurang berwibawa. Filep menekankan bahwa standarisasi mutu harus sejalan dengan dukungan pemerintah untuk pembangunan pendidikan di daerah.

“Tentu kita sepakat, bahwa mendapatkan pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap warga negara. Jadi soal membangun pendidikan harusdari akar untuk berdiri bersama tanpa nuansa persaingan atau bahkan indikasi-indikasi yang disebut pemohon praktik transaksional atau bahkan jual beli akreditasi. Jadi agar kita jauh-jauh dari makna Homo Homini Lupus di dalam dunia pendidikan ini. Maka di poin ini, yang paling penting bagi saya adalah memastikan akses pendidikan yang merata sebagai wujud keadilan atau ekuitas bagi putra-putri kita di seluruh penjuru daerah,” katanya lagi.

Seperti diketahui, perkara uji materi UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Pendidikan Tinggi tengah berjalan di Mahkamah Konsititusi. Perkara ini diajukan Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (BKS Dekan FH-PTN Se-Indonesia) bersama delapan dosen dan tiga mahasiswa.

Mengutip laman MKRI, para Pemohon menyoal ketentuan akreditasi program dan satuan pendidikan oleh dua entitas yakni pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang. Dengan adanya dua lembaga yang memiliki tugas serupa namun berbeda dalam cakupan objeknya, para Pemohon menilai, terdapat risiko perbedaan standar, metode, dan hasil penilaian yang dapat membingungkan perguruan tinggi dan program studi yang diakreditasi.

Hal ini dipandang dapat melemahkan efektivitas sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara keseluruhan. Penilaian akreditasi yang dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri yang dikelola oleh masyarakat dinilai berpotensi menimbulkan praktik transaksional atau jual beli akreditasi.

Mendiktisaintek, Brian Yuliarto pun membantah pelibatan masyarakat dalam akreditasi program studi sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah sehingga tidak sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).

Menurutnya LAM bukan sekadar lembaga penjamin mutu, tapi juga kunci untuk mendorong tata kelola pendidikan tinggi yang lebih profesional, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan, selaras dengan standar global. Brian mengatakan konstitusi memberikan ruang kebijakan atau open legal policy bagi pembentuk undang-undang untuk menetapkan satu sistem pendidikan nasional. Meskipun sistem pendidikan nasional ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ilmu pengetahuan dan pengembangan keilmuan bukan monopoli negara atau Pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Pemerintah.(jp/rls)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

Hati-hati salin tanpa izin kena UU no.28 Tentang Hak Cipta