Oleh : Safwan
JAGATPAPUA.com – Nasib rumah honai yang menjadi tempat persinggahan Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono saat meresmikan situs Pekebaran Injil, kini hanya tersisa puing puing berabuh yang membisu ditengah kemegahan situs pekebaran injil di Pulau Mansinan.
Aksi ‘heroik’ pembakaran honai ini berawal dari tidak maksimalnya badan pengelolaan situs Mansinam yang dibentuk dengan dukungan anggaran sejak 2016 lalu. Alhasil, tempat yang harusnya menjadi monumen itu menjadi korban dari luapan serta kekecewaan mereka. Bahkan tak ada yang tau siapa yang membawa si jago merah menghanguskan saksi saksi kehadiran situs PI itu.
Menggelitik rasanya ketika mendengar
pernyataan Albert Rumbarar,(43) Tokoh Gereja di Kampung Mansinam, yang ditemui pekan kemarin. Dari rasa bangga dan yakin akan dampak positif dari pembangunan mega proyek situs Pekebaran Injil, kini harapan itu pun sirna. Semua kata dia berbalik hanya karena ‘uang besar’.
“Awalnya lewat bangunan yang diresmikan SBY ini, semuanya berharap pasti ada dampak positif untuk merubah ekonomi masyarakat. Namun, nyatanya setelah bangunan ini hadir di Mansinam dan sudah diresmikan, tidak seperti yang diharapkan. Semuanya karena, badan pengurus (pengelola) situs, tidak maksimal untuk mengatur sejak akhir tahun 2016 hingga saat ini,” ucap Rumbarar. Bahkan, ‘uang besar’ membuat kehilafan itu muncul hingga kepentingan pribadi dikedepankan ketimbang kepentingan masyarakat.
“Hari ini semua orang boleh katakan, bahwa kami masyarakat Mansinam malas dan tidak bisa mengurus situs ini. Namun yang sebenarnya tidak demikian, pengurus situsnya yang hingga kini tidak jelas,” ujar Rumbarar sembari berharap polemik ini harus cepat tuntas.
Warga lain, Albert Lambertus Rumbrawer. (34) mengaku bahwa honai itu tak lagi diperhatikan sehingga ambruk. Entah disengaja atau tidak, dibakar atau tidak dia pun tak tahu pasti. Sebab, honai itu terbakar ditengah musim kemarau.
Dibalik siapa oknum yang membakar, tentu ini adalah dampak dari pengelolaan situs yang beberapa tahun ini tidak efektif.
“Honai itu menjadi sejarah, Presiden kita sendiri turun di pulau ini, namun sayangnya dihargai dengan kelakuan semacam ini,” ujar Lambertus sembari menyesali kejadian tersebut.
“Biar satu hari namun SBY sudah datang dan istirahat sejenak. Sekarang sudah menjadi puing puing kenangan,” harunya.
Apa ? dan mengapa ? Akademisi Unipa, Andreas J. Deda, berujar bahwa kalau tindakan semacam itu adalah bagian dari pemberontak, dan juga merupakan ekspresi kekecewaan. Bago dia ekspresi tersebut juga menjadi pertanda bahwasanya gereja punya tanggung jawab besar untuk bisa memikirkan segala sesuatu itu.
“Saya kira sudah jelas, pemerintah dan gereja harus bisa menterjemahkan niat baik SBY untuk membangun situs tersebut. Sebagai Presiden saat itu, ia sudah menjawab permintaan ‘kalian’, padahal dari Sabang sampai Merauke banyak yang ingin perhatian seorang Presiden, terus kenapa peninggalannya tidak di jaga ? Tanya Andreas.
Dari berbagai pulau di Indonesia, seorang Presiden sudah memberikan perhatiannya ke Pulau Mansinam, kemudian pernahkah kalian memahami bahwasanya kenapa dia harus menjawab itu? itu harus di mengerti. ? Sambung dia lagi., sebab kalau kita tidak mengerti apa maksud seorang SBY membuat semua itu untuk kita, maka kita juga tidak akan menghargai apa yang sudah dia lakukan.
Bagi dia, manusia yang mengelola situ itu harus memiliki kepekaan kepada sebuah tempat sejarah. Meski dia tahu, dibalik kemegahan itu tersimpan masalah yang besar untuk masyarakat lokal di sana.
“Sampai dengan hari ini, entah gereja dan juga pemerintah, belum bisa menyelesaikan masalah itu. Dan itu menjadi ekspresi mereka,” ungkap Andreas. Ia berharap kepada pihak gereja untuk merefleksikan saat khotbah di mimbar, sehingga umat bisa memahami, dan selanjutnya menghargai semua itu.(*)