Oleh : Abner Wanggai
JAGATPAPUA.com – Kasus kematian warga kulit hitam di Amerika, George Floyd memantik lagi isu rasisme di Amerika dan juga di Indonesia. Masyarakat pun menolak aksi, “PapuanLivesMatter”, yang merupakan provokasi kelompok separatis untuk memecah belah persatuan bangsa, mengingat negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk warga Papua.
George Floyd adalah warga negara Amerika yang berkulit hitam dan mendapatkan perlakuan sadis dari oknum petugas. Ia dikejar dengan tuduhan pencucian uang dan tidak melawan sama sekali. Namun bukannya dimasukkan ke dalam mobil patroli, lehernya malah diinjak dengan lutut selama 7 menit. Floyd susah bernapas dan akhirnya meninggal dunia.
Kasus ini sontak merebut perhatian masyarakat, tak hanya di Amerika tapi juga di seluruh dunia. Mereka mengecam kekejaman oknum petugas itu yang masih rasis dan menganggap bahwa semua orang kulit hitam itu sama saja. Padahal di Amerika sudah lama sekali ada persamaan hak antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang diperjuangkan oleh Marthen Luther King.
Isu rasisme kembali bergulir di Amerika dan orang-orang kulit hitam berdemo untuk menuntut keadilan bagi George Floyd. Aksi yang dinamakan dengan “Black Lives Matter”, ini diadakan di Minneapolis. Pada demo ini ternyata tidak hanya didukung oleh warga biasa, tapi juga selebriti seperti Lady Gaga dan petenis Serena Williams, bahkan mantan presiden Amerika Barack Obama.
Gelombang aksi anti rasisme juga sampai ke Indonesia. Awalnya banyak yang menyatakan simpati kepada George Floyd yang bernasib malang. Namun ternyata melenceng dan malah dibelokkan ke isu lain, yakni tuduhan rasisme terhadap orang-orang Papua. Aksi ini bernama ‘Papua Lives Matter’ dan sedang menghebohkan dunia maya.
Secara fisik, orang Papua memang hampir mirip dengan warga negro Amerika, dengan badan yang tegap dan kulit gelap. Namun kasus Floyd jangan malah dibawa ke negeri ini dan dipelintir lalu diarahkan ke isu rasisme di Papua, karena memang berbeda jauh. Karena perlakuan warga negara Indonesia dari suku lain ke orang asli Papua kenyataannya baik-baik saja.
Jika ada yang berdemo mengatasnamakan, “Papua Lives Matter”, maka patut dipertanyakan. Apakah orang Papua dianggap remeh sehingga harus melakukan aksi itu? Kenyataannya tidak.
Buktinya ada Septinus Saa yang jadi juara olimpiade fisika dunia. Keberhasilannya di ajang internasional karena kecerdasan dan keuletannya, dan ketika meraih prestasi, ia dianggap mengharumkan Indonesia dan tidak dihina karena berasal dari Papua. Banyak pula atlet asli Papua seperti Lisa Rumbewas dan Alex Pulalo.
Lagi-lagi orang memuji keberhasilan mereka dan tidak mempermasalahkan warna kulitnya. Ada pula Freddy Numberi, putra Papua yang pernah jadi Menteri di era Presiden Megawati dan jadi duta besar.
Aksi “Papua Lives Matter”, dikhawatirkan malah akan mengobarkan isu rasisme di Indonesia. Padahal sebelumnya keadaan baik-baik saja. Ketika ada demo ini, dikhawatirkan akan terjadi kerusuhan dan menghancurkan kedamaian di negeri ini.
“Papua lives matter”, dikhawatirkan akan memanas-manasi warga asli Papua dan memancing kerusuhan. Padahal tidak ada kasus rasisme, perbudakan atau ketimpangan hak sama sekali. Jadi diharap seluruh warga negara Indonesia menentang aksi “Papua Lives Matter”.
Simpati terhadap kasus George Floyd boleh-boleh saja. Memang kita tidak boleh memandang orang lain hanya dari warna kulitnya.
Namun aksi “Black Lives Matter” jangan sampai diubah jadi “Papua Lives Matter”. Karena malah menghancurkan persatuan bangsa dan memantik permusuhan antar suku. Ingatlah untuk tetap melakukan bhinneka tunggal ika dan menjaga semangat persatuan di Indonesia.(***)
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta