Oleh : Nico Patipawae
“Berikan ruang demokrasi kepada rakyat, karena rakyat mempunyai hak untuk memilih”
JAGATPAPUA.com – Keberadaan calon tunggal dalam Pilkada berpotensi menurunkan kualitas demokrasi. Pasalnya pemilihan akan lebih kompetitif jika pemilih mempunyai pilihan alternatif politik yang bermakna.
Selain itu, munculnya calon tunggal bukan dikarenakan hanya ada satu calon yang berkompeten, akan tetapi dikarenakan hanya ada satu calon yang memenuhi syarat pencalonan dalam jumlah minimal kursi di parlemen.
Mereka yang melawan kotak kosong adalah mereka yang memboyong hampir seluruh rekomendasi partai politik, sehingga bakal calon yang lain tidak mampu mencukupi syarat minimal jumlah kursi untuk pencalonan.
Dominasi semacam ini, dalam kacamata personal sang kandidat, adalah sebuah “kehebatan”. Lantas, apa yang dirasakan oleh kandidat saat akan berhadapan dengan kotak kosong. Sudah tentu kemenangan ada didepan mata, dengan hanya sedikit mengeluarkan biaya untuk kampanye dan sebagainya.
Padahal, dalam arena politik, jumlah kandidat yang lebih dari satu pasang, tentu lebih asik, karena sebagai warga negara, masyarakat diberi hak dan kesempatan untuk memilih dan memutuskan, kandidat yang mereka anggap mampu untuk membawa perubahan.
Disisi lain, pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari peran penting partai politik, karena setiap kandidat yang hendak bertarung harus mendapat rekomendasi dari pimpinan partai politik, kecuali kandidat yang memakai jalur independent.
Dalam Undang-Undang No 10 tahun 2016 pasal 54C ayat (1) tentang Pilkada, dinyatakan calon tunggal juga diperbolehkan apabila terdapat lebih dari satu calon yang mendaftar, namun dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan adanya calon tunggal.
Peneliti LSM Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi, Usep Hasan Sadikin, menjelaskan, terkadang Pilkada dengan calon tunggal yang lawanya kotak kosong dapat merugikan rakyat sebagai pemilih, mengingat rakyat merupakan pemilik kedaulatan didalam demokrasi.
Menurut Usep, kerugian rakyat sebagai pemilih dapat disebabkan secara sistemik berdasarkan Undang-Undang Pilkada.
“Keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan menjaga status quo, tetap berkuasa dengan cara menjegal saingannya lewat borong partai,” sebut Usep.
Untuk itu, partai politik juga diminta ekstra hati-hati dalam memberikan rekomendasi kepada seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, Kecuali partai politik yang oportunis.
Sementara Ketua AMPG Teluk Bintuni, Bahmudin Kahar Refideso, berpendapat semua kandidat atau siapa saja boleh berasumsi, namun masyarakat mempunyai hak untuk menentukan pilihan, karena kedaulatan berada di tangan rakyat dan itulah yang dinamakan demokrasi yang baik.
“Persoalan menang kalah, itu biasa, kami juga memberikan ruang kepada siapapun untuk bertarung secara sehat, karena kami ingin memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat,” ujar Kahar.
Kahar menambahkan pemilihan kepala daerah sudah semakin dekat, tentu rakyat perlu dididik dan berpikir dengan rasional untuk sadar berpolitik, agar ia dapat memilih pemimpin yang representatif bagi daerah.(***)