JAKARTA,JAGATPAPUA.com–Baru-baru ini, Dewan Adat III Domberay bereaksi atas tindakan penyisiran yang dilakukan oleh Polres Manokwari terhadap tambang emas ilegal di Sungai Wariori Distrik Masni, Manokwari, Papua Barat.
Meskipun memuji langkah preventif yang dilakukan Polres Manokwari, namun Dewan Adat III Domberay berharap agar tindakan penyisiran semacam itu dilakukan secara humanis, mengingat ada tambang rakyat yang dikelola dan dijaga oleh masyarakat.
Menanggapi persoalan ini, Senator Papua Barat memberikan pandangannya. Menurutnya, apresiasi terhadap Polres Manokwari dan Polda Papua Barat memang harus sejalan dengan kritik terhadap pola penanganan permasalahan di lapangan.
“Kita harus ingat bahwa pertambangan rakyat merupakan hal yang sedang diusahakan masyarakat. Untuk itu memang sudah seharusnya didorong bersama-sama. Jadi jangan sampai penegakan hukum membuat masyarakat jadi khawatir,” kata Filep.
“Kalau bicara tambang rakyat, jelas sudah ada aturan mainnya yaitu UU Minerba atau UU Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan revisi atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di sana dijelaskan tentang Izin Pertambangan Rakyat (IPR),” ujarnya lagi.
Filep menerangkan, untuk mendapatkan IPR ini, rakyat harus memenuhi syarat yang disebutkan dalam Pasal 62 dan 63 PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Di bawah PP ini ada Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Khusus untuk Papua Barat, ada Kepmen ESDM No. 87.K/Mb.01/Mem.B/2022 Ll Kesdm 2022 tentang Wilayah Pertambangan Provinsi Papua Barat. Berdasarkan aturan ini, Wilayah Pertambangan Rakyat jelas diizinkan di Papua Barat”, kata Filep yang juga penulis buku Pengaturan Kebijakan Investasi untuk Perlindungan Masyarakat Adat Papua Barat ini.
Lebih lanjut Filep menegaskan bahwa semua regulasi terkait pertambangan rakyat di Papua Barat sudah seharusnya lebih dikonkritkan dalam Perdasus. Dengan begitu, ada aturan yang menjadi pedoman dan mengatur segala kebijakannya secara terperinci.
“Kita butuh Perdasus untuk hal ini. Karena Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Papua Barat itu dimiliki oleh masyarakat adat. Disana kita bisa atur bagaimana kebijakannya, bagaimana modal atau besaran investasinya, bagaimana kelembagaannya, bagaimana dengan aspek lingkungan dan teknologinya. Itu semua butuh perincian, butuh pengaturan yang detail,” jelas Filep.
Selain itu, Senator Filep mengingatkan UU Otsus Perubahan juga sudah jelas mengatakan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
“Secara data, WPR di Indonesia luasnya 580.712 hektar dengan total bloknya ada 3.329 blok. Per 2020, IPR di seluruh Indonesia hanya 16 IPR. Ini kan kecil sekali. Jadi memang harus diusahakan WPR dan IPR baru, misalnya di Papua Barat ini,” tegas Filep.
Wakil Ketua Komite I DPD RI ini lantas mendorong peluang investasi pertambangan rakyat ini, agar menjadi berkat bagi Orang Papua dan mampu berdikari di atas tanahnya sendiri.
“Saya minta kepada Pemda, agar memfasilitasi hal ini. Pemda dapat bertemu dengan masyarakat adat, menjumpai Dewan Adat untuk bicara tentang hal ini, karena ini menyangkut masa depan anak cucu Orang Papua, juga termasuk masa depan alam Papua,” demikian saran Filep di akhir keterangannya.(jp/rls)