JAKARTA, JAGATPAPUA.com – Pada Maret 2023 lalu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyebutkan bahwa Provinsi Papua Barat masuk dalam kategori cukup berat terkait permasalahan stunting. Hal ini pun menjadi koreksi dan bagian dari pengawasan yang ketat oleh Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma.
Menurutnya, persoalan stunting dan persoalan kesehatan lainnya tidak dapat dipisahkan dari kuantitas dan kualitas Tenaga Kesehatan dan juga ketersediaan infrastruktur kesehatan.
“Saya harus sampaikan kepada publik, bahwa perjuangan sebagai Ketua Tim Otsus DPD RI yang ikut menyusun UU Otsus, menghasilkan 2 pasal yang sangat penting untuk kesehatan. Tatanan regulasi ini harus memberikan perhatian besar di bidang kesehatan, karena di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat untuk masyarakat dan semua generasi OAP bersama-sama membangun Papua lebih maju,” ujarnya, Rabu (11/2023).
Filep menyebutkan, kedua pasal yang dimaksud yaitu Pertama, Pasal 34 ayat (3) huruf e angka 2 huruf b yang menyebutkan bahwa paling sedikit 20% dari penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25% dari plafon Dana Alokasi Umum nasional yang totalnya 2,25%, digunakan untuk belanja kesehatan.
“Pasalnya, pada Otsus periode 1 hanya disebutkan sebesar 2% saja dan itupun dibagi pendidikan dan kesehatan tanpa ada angka yang jelas. Kedua, Pasal 36 ayat (2) huruf b yang menegaskan bahwa 25% dari DBH Migas digunakan untuk belanja kesehatan dan perbaikan gizi. Otsus yang periode 1 hanya 15% saja. Jadi ada kenaikan signifikan di situ,” ujar Filep.
“Perjuangan saya dan tim Otsus DPD RI sangat berat karena harus menghadapi pandangan-pandangan lain dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian-Kementerian terkait. Saya sampaikan bahwa anggaran kesehatan dalam UU Otsus Perubahan itu harus diloloskan karena kondisi kesehatan dan pengelolaannya di Papua Barat membuat saya sangat sedih,” tuturnya.
Pace Jas Merah ini lantas menyinggung Data BPS 2022, Papua Barat termasuk 5 besar terbawah tentang jumlah dokter. Selain itu, di tahun 2021 yang lalu, Data BPS menunjukkan hanya ada 10 Rumah Sakit di Papua Barat. Ia menyebutkan kondisi riil di lapangan yang masih menghadapi beragam keterbatasan.
“Baik infrastuktur maupun tenaga kesehatan, yang paling mengenaskan ada di Kabupaten Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak. Per tahun 2021 kedua kabupaten ini tidak memiliki RS. Lalu, dari 381 orang Tenaga Medis di Papua Barat, hanya ada 7 orang di Manokwari Selatan dan 9 orang di Pegunungan Arfak. Tenaga farmasi di Pegunungan Arfak pun Cuma 2 orang. Bahkan untuk Tenaga Psikologi Klinis, hanya ada 3 orang di Fakfak sementara di semua kabupaten lainnya sama sekali kosong,” jelasnya.
Filep menambahkan, secara keseluruhan provinsi, persebaran semua jenis tenaga kesehatan sesuai data BPS per 2021 masih sangat minim, yakni Tenaga Medis 381 orang, Tenaga Keperawatan 2172 orang, Tenaga Kebidanan 1145 orang, Tenaga Kefarmasian 222 orang, Psikologi Klinis 3 orang, Tenaga Kesehatan Masyarakat 199 orang, Tenaga Kesehatan Lingkungan 66 orang, Tenaga Gizi 153 orang, dan Tenaga Keterapian 17 orang.
Doktor Hukum lulusan Universitas Hasanuddin ini mencatat bahwa persoalan stunting di Papua Barat tentu saja menjadi masalah serius karena ketimpangan jumlah Tenaga Kesehatan tersebut.
“Di saat yang sama, pada Maret 2023, Kemenko PMK menyebutkan bahwa Provinsi Papua Barat menjadi Wilayah Ke-23 yang disisir permasalahan stunting. Kabupaten Pegunungan Arfak menjadi wilayah yang angka stuntingnya paling tinggi di Papua Barat yaitu sebesar 51,5 persen. Saya tidak kaget lagi karena Tenaga Gizi di Pegunungan Arfak hanya 2 orang. Contoh lain di Bintuni sebagai ladang Gas Alam. Sampai 2021 hanya ada 1 Rumah Sakit. Tidak ada Rumah Sakit Bersalin. Hanya ada 2 poliklinik di Babo dan Bintuni,” ungkapnya.
“Sejak tahun 2020-2021 jumlah puskesmas ada 25 dan puskesmas pembantu ada 42. Tidak ada puskesmas di Dataran Beirnes, Kamundan, Weriagar, Moskona Barat, Moskona Timur, Menday, Biscoop. Sampai 2022, masih ada persoalan bayi dengan gizi buruk. Semua ini memberikan pertanyaan besar, ke mana semua dana kesehatan Otsus selama ini? Itu sebabnya saya sangat berjuang memasukkan angka-angka dalam UU Otsus bagi kesehatan di Papua Barat,” tegas Filep.
Di atas semua kondisi tersebut, Filep mengingatkan ketersediaan alokasi yang cukup besar dari Dana Otsus dan DBH Migas, terutama pasca Otsus perubahan yang diperjuangkannya pada 2021 lalu.
Filep mengalkulasikan secara rinci, DBH Migas untuk Provinsi Papua Barat pada 2023 sebesar Rp2.609.393.660 triliun. Kemudian, jika dihitung 25% dari DBH Migas, maka didapat dana kurang lebih Rp652.348.415 miliar di tingkat provinsi. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2015 pada Otsus periode 1, jumlahnya hanya Rp9.045.511 miliar dari total DBH sebesar Rp60.303.413 miliar. Lalu, di Tahun 2018 juga hanya Rp44.174.109 miliar dari total DBH sebesar Rp294.494.060.
“Maka di tahun 2023 ini kenaikan porsi anggaran kesehatan dari DBH Migas saja mencapai 44 kali lipat dari tahun 2018. Dana ini di tingkat provinsi, belum termasuk dihitung per kabupaten. Transfer DBH Migas ke kabupaten masing-masing kurang lebih sebesar Rp66.472.906 miliar. Maka pembiayaan kesehatan di tiap kabupaten sebesar 25% yaitu Rp16.618.226 miliar. Ini juga belum termasuk 1,25% dari plafon DAU nasional yaitu sebesar Rp59.074.493 miliar di tingkat provinsi, dan Rp36-Rp51 miliar untuk tingkat kabupaten.,” urainya.
Sebagai Ketua Tim Otsus, Filep juga menginisiasi PP 106 Tahun 2021 yang memperjelas kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten di bidang kesehatan yaitu melakukan pemerataan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan Rumah Sakit, penguatan Tenaga Kesehatan, pelayanan kesehatan bergerak khususnya di daerah terpencil bagi OAP.
Kemudian, pemberian beasiswa bagi Tenaga Kesehatan OAP, bantuan anggaran pendidikan bagi penyelenggaraan pendidikan Tenaga Kesehatan, pemberian afirmasi Tenaga Kesehatan OAP, jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi Tenaga Kesehatan, pemberian stimulan bagi kader kesehatan kampung dari OAP, dan masih banyak lagi.
“Intinya, anggaran kesehatan dalam Otsus yang saya perjuangakan itu harus dimanfaatkan dengan benar, baik untuk belanja kesehatan secara umum maupun kepentingan Tenaga Kasehatan,” pungkas Filep.(jp/rls)