JAKARTA,JAGATPAPUA.com— Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma angkat bicara atas ditolaknya penandatanganan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Alam (SDA Migas) oleh Bupati Teluk Bintuni Ir. Petrus Kasihiw.
Penolakan itu terjadi saat rapat kerja kepala daerah se-Papua Barat di Gedung ACC Aimas yang berlangsung pada 20-21 Oktober 2022 lalu.
Menurut Filep, penolakan itu tidak semestinya dilakukan karena pengaturan tentang DBH SDA Migas telah jelas tertera dalam Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Pemerintah (PP) terkait.
“Saya cukup kaget karena ada kepala daerah yang menolak penandatanganan terkait DBH SDA Migas. Dalam upaya kami memperjuangkan pembagian DBH Migas, kami hasilkan UU Otsus perubahan sekaligus turunannya di PP 106 dan PP 107 Tahun 2021. Di sana sudah diatur tentang DBH SDA Migas. Pasal 34 UU Otsus Perubahan sudah bicara tentang itu. PP 107 Tahun 2021 juga demikian, di Pasal 4, Pasal 6, Pasal 29”, kata Filep, Senin (24/10/2022).
“Formulasinya juga sudah ada dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Minyak Bumi dibagi dengan imbangan 84,5% untuk Pemerintah Pusat dan 15,5% untuk Pemerintah Daerah. Sedangkan untuk Gas Alam dibagi dengan imbangan 69,5% untuk Pemerintah Pusat dan 30,5% untuk Pemerintah Daerah,” jelas Filep.
Filep melanjutkan lagi bahwa sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022, perhitungan pengalokasian DBH SDA Migas, dilakukan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa, pembagiannya telah dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah.
“Dengan begitu, penerimaan daerah (Papua Barat) yang diperoleh dari DBH SDA Minyak Bumi sebesar 15,5% dibagi dengan rincian, 2% dibagikan kepada Provinsi yang bersangkutan, 6,5% kepada Kabupaten/Kota penghasil, 6% untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan, dan 1% kepada Kabupaten/Kota pengelola,”beber senator Papua barat ini.
Lebih lanjut, ia menerangkan, untuk penerimaan daerah yang diperoleh melalui DBH SDA Gas Alam sebesar 30,5% dibagi dengan rincian, 4% kepada provinsi yang bersangkutan, 13,5% untuk Kabupaten/Kota penghasil, 12% dibagikan untuk Kabupaten/Kota yang berbatasan dan Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan, dan sisanya 1% diberikan kepada Kabupaten/Kota pengelola.
Hal ini menurut Filep menunjukkan bahwa, kabupaten/kota penghasil masih memiliki porsi alokasi yang besar jika dibandingkan dengan yang diperoleh oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota lain di provinsi yang bersangkutan.
“Jadi, semua itu sudah sangat transparan diatur. Bahkan untuk masyarakat adat pun telah dialokasikan secara khusus dari DBH SDA Migas Otsus yaitu sebesar 10%, yang diperuntukkan belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat (PP Nomor 107 Tahun 2021). Jadi, terus terang, cukup mengagetkan jika kepala daerah tidak mau tandatangan,” tambah Wakil Ketua Komite I DPD RI ini.
Oleh sebab itu, Filep mempertanyakan apa dasar dan pertimbangan atas sikap penolakan itu. Menurutnya, apabila kepala daerah baik kabupaten/kota maupun provinsi tidak tunduk pada amanat UU dan peraturan yang berlaku maka hal itu merupakan bentuk pelanggaran hukum.
“Jadi saya ingin mempertegas, persentase pembagian DBH Migas sudah sangat jelas. Jika pemerintah daerah Kabupaten Bintuni keberatan, berarti bukan keberatan pada prosesnya melainkan keberatan terhadap undang-undangnya. Jadi bisa dilakukan uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) atau diuji peraturannya kepada Mahkamah Agung (MA), bukan sebaliknya hak masyarakat yang harusnya terealisasi ini kemudian tidak dilaksanakan,” tegasnya.
“Sekali lagi, kepala daerah wajib melaksanakan undang-undang. Kalau mengesampingkan, itu merupakan pelanggaran hukum dan masyarakat punya hak untuk menuntut keadilan baik pidana, tata usaha negara maupun konstitusi,” sambungnya.
Senator Papua Barat ini pun berharap pemda terkait dapat melaksanakan amanat UU dan PP terkait pengelolaan DBH Migas sesuai peruntukannya. Menurutnya, hal itu lebih penting dilakukan daripada mempertahankan sikap yang belum tentu kebenarannya.
“Saya pikir kita semua sepakat bahwa untuk kemajuan Papua Barat, DBH SDA Migas harus diperjuangkan. Namun jika ada yang kurang puas, mestinya dapat dengan cara elegan menyampaikan ketidaksetujuan, walaupun kita tahu juga bahwa semuanya itu sudah diatur oleh peraturan yang berlaku,” ungkap Filep.(jp/ask)